BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN
HIV adalah singkatan dari Humman immuno deficienci virus merupakan suatu virus yang sistem kekebalan tubuh terutama limfosit, sehingga tubuh jadi lemah dan melawan infeksi. Virus ini yang menyebabkan AIDS.
AIDS adalah singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome. Syndrome berarti kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit. Deficiency berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Aquired berarti diperoleh atau didapat, merupakan kumpulan berbagai gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi virus HIV.
Dewasa ini dikenal 2 tipe HIV yaitu HIV1 dan HIV 2. Virus ini merupakan kelas VI (SsRNA-RT) famili retroviridae dengan genus lentivirus. Sebagian besar kasusu di sebsbkan oleh virus HIV 1, infeksi virus HIV 1 dan 2 memberikan gambaran klinis yang hampir sama. Hanya infeksi HIV 1 mudah ditularkan kebadan. Masa infeksi sampai timbul penyakit lebih pendek. Kedua spesies HIV yang menginfeksi manusia (HIV-1 dan -2), pada mulanya berasal dari Afrika barat dan tengah, berpindah dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis. HIV-1 merupakan hasil evolusi dari simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan troglodyte troglodyte. Sedangkan, HIV-2 merupakan spesies virus hasil evolusi strain SIV yang berbeda (SIVsmm), ditemukan pada Sooty mangabey, monyet dunia lama Guinea-Bissau. Sebagian besar infeksi HIV di dunia disebabkan oleh HIV-1 karena spesies virus ini lebih virulen dan lebih mudah menular dibandingkan HIV-2. Sedangkan, HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat.
Berdasarkan susuanan genetiknya, HIV-1 dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu M, N, dan O. Kelompok HIV-1 M terdiri dari 16 subtipe yang berbeda. Sementara pada kelompok N dan O belum diketahui secara jelas jumlah subtipe virus yang tergabung di dalamnya. Namun, kedua kelompok tersebut memiliki kekerabatan dengan SIV dari simpanse. HIV-2 memiliki 8 jenis subtipe yang diduga berasal dari Sooty mangabey yang berbeda-beda.
Apabila beberapa virus HIV dengan subtipe yang berbeda menginfeksi satu individu yang sama, maka akan terjadi bentuk rekombinan sirkulasi (circulating recombinant forms - CRF) (bahasa Inggris: circulating recombinant form, CRF). Bagian dari genom beberapa subtipe HIV yang berbeda akan bergabung dan membentuk satu genom utuh yang baru. Bentuk rekombinan yang pertama kali ditemukan adalah rekombinan AG dari Afrika tengah dan barat, kemudian rekombinan AGI dari Yunani dan Siprus, kemudian rekombinan AB dari Rusia dan AE dari Asia tenggara. Dari seluruh infeksi HIV yang terjadi di dunia, sebanyak 47% kasus disebabkan oleh subtipe C, 27% berupa CRF02_AG, 12,3% berupa subtipe B, 5.3% adalah subtipe D dan 3.2% merupakan CRF AE, sedangkan sisanya berasal dari subtipe dan CRF lain.
2. STRUKTUR DAN MATERI GENETIK
HIV memiliki diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical) hingga oval karena bentuk selubung yang menyelimuti partikel virus (virion). Selubung virus berasal dari membran sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipida. Di dalam selubung terdapat bagian yang disebut protein matriks. Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan kapsid. Genom adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua kopi utas tunggal RNA. Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus dan melindungi genom. Berbeda dengan sebagian besar retrovirus yang hanya memiliki tiga gen (gag, pol, dan env), HIV memiliki enam gen tambahan (vif, vpu, vpr, tat, ref, dan nef). Gen-gen tersebut disandikan oleh RNA virus yang berukuran 9 kb. Kesembilan gen tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan fungsinya, yaitu gen penyandi protein struktural (Gag, Pol, Env), protein regulator (Tat, Rev), dan gen aksesoris (Vpu hanya pada HIV-1, Vpx hanya pada HIV-2; Vpr, Vif, Nef).
Gambar. Struktur HIV
Nama Gen dan Protein yang disandikan | Ukuran | Lokalisasi | Fungsi |
Tat (trans-aktivator transkripsi) | 86 asam amino (AA), 2 ekson, 14 kDalton | nukleus, nukleolus, protein awal | Penting untuk replikasi; Trans-aktivasi ekspresi mRNA virus, mengatur ekspresi sitokin dan reseptor. |
Rev (regulator ekspresi protein virus) | 116 AA, 2 ekson, 19 kDalton | Penting untuk replikasi; mengatur transkripsi dan ekspresi protein Gag, Pol, Env, Vif, Vpu, dan Vpr. | |
Vif (faktor infektivitas virus) | 192 AA, 23 kDalton | ||
Vpr (Protein R virus) | 96-106 AA, 10-15 kDalton | komponen dari inti virus dan kompleks membran | Mediasi replikasi di sel yang tidak membelah |
Vpx (Protein X virus) | 112 AA, 12-16 kDalton | komponen virion | Berfungsi seperti Vpr |
Vpu (Protein U virus) | 81 AA (terfosforilasi), 9,2 & 16 kDalton | retikulum endoplasma, protein transmembran | Degradasi CD4; meningkatkan pelepasan HIV; pembentukan membran protein integral; regulasi ekpresi permukaan sel terhadap MHC I |
Nef (Faktor Negatif) | 206 AA, 27 kDalton | virion, sitoplasma, nukleus | Meningkatkan produksi HIV di tahap akhir; mengatur ekspresi MHC I dan CD4 |
3. ETIOLOGI
Walaupun definisi yang di ajukan oleh the centers for disease control (CDC) di atlanta AS merupakan definisi kerja. Namun berdasarkan penelitian di prancis dan AS penyebab defisiensi imunitas selular ialah retrovirus yang di sebut lymphadenopathy associated virus (LAV) dan kemudian di AS di sebut human T-Cell Leukemia virus III (HTLV). HTLV III juga di sebut lymphadenopathy virus. LAV di temukan oleh Montaggner dkk. Pada tahun 1983 sedangkan HTLV III di temukan oleh Gallo pada tahun berikut nya. Virus yang sama ini ternyata banyak di temukan di Afrika Tengah. Pada salah satu penyelidikan pada sejumlah 200 monyet hijau afrika, 70% dalam darahnya mengandung virus, tanpa menimbulkan penyakit. Nama lain virus tersebut adalah human imunodeficiency virus.
4. PATOGENESIS
Untuk mengerti bagaimana virus tersebut bekerja, seseorang perlu mengerti bagaimana sistem kekebalan tubuh bekerja. Sistem kekebalan mempertahankan tubuh terhadap infeksi. Sistem ini terdiri dari banyak jenis sel. Dari sel–sel tersebut sel T–helper sangat krusial karena ia mengkoordinasi semua sistem kekebalan sel lainnya. Sel T–helper memiliki protein pada permukaannya yang disebut CD4. HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik. Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal. Tanpa perawatan, viral load, yang menunjuk pada jumlah relatif dari virus bebas bergerak didalam plasma darah, akan meningkat mencapai titik dimana tubuh tidak akan mampu melawannya.
5. TAHAPAN DAN GEJALA
Masa inkubasi HIV adalah 5 – 10 tahun. Sampai timbul gejala dan dinyataka HIV. Ada beberapa Tahapan ketika mulai terinfeksi virus HIV sampai timbul gejala AIDS:
a. Tahap 1: Periode Jendela/Infeksi utama (Seroconversion, berkisar 2 minggu - 6 bulan
1. HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibody terhadap HIV dalam darah
2. Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
3. Test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini
4. kebanyakan pengidap HIV tidak menyadari dengan segera bahwa mereka telah terinfeksi.
b. Tahap 2: Fase asymptomatic, HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun:
1. HIV berkembang biak dalam tubuh
2. Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
3. Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah terbentuk antibody terhadap HIV
4. Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan tubuhnya (rata-rata 8 tahun (di negara berkembang lebih pendek)
c. Tahap 3: Fase symptomatic, HIV Positif (muncul gejala)
1. Sistem kekebalan tubuh semakin turun
2. Mulai muncul gejala infeksi oportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar limfa di seluruh tubuh, diare terus menerus, flu, dll
3. Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya tahan tubuhnya
d. Tahap 4: AIDS
1. Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah
2. berbagai penyakit lain (infeksi oportunistik) semakin parah
3. biasanya bercirikan suatu jumlah CD4 kurang dari 200.
6. PENULARAN
HIV hanya bisa hidup dalam cairan tubuh seperti darah, cairan air mani dan cairan vagina dan serviks, air susu ibu maupun cairan dalam otak. Sedangkan air kencing, air mata dan keringat yang mengandung virus dalam jumlah kecil tidak berpotensi menularkan HIV.
Cara penularan HIV/AIDS :
1. Darah
Contoh : Tranfusi darah, terkena darah hiv+ pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik, dsb
2. Cairan Semen, Air Mani, Sperma Pria
Contoh : Laki-laki berhubungan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral seks, dsb.
3. Cairan Vagina pada Perempuan
Contoh : Wanita berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks, dll.
4. Air Susu Ibu / ASI
Contoh : Bayi minum asi dari wanita hiv+, Laki-laki meminum susu asi pasangannya, dan lain sebagainya.
Cairan Tubuh yang tidak mengandung Virus HIV pada penderita HIV+ :
1. Air liur / air ludah / saliva
2. Feses / kotoran / bab / tinja
3. Air mata
4. Air keringat
5. Air seni / air kencing / air pipis / urin / urine
Ibu denganHIV-positif dapat mengurangi risiko bayinya tertular dengan mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV), menjaga proses kelahiran yang singkat dan menghindari menyusui. Penggunaan ARV, risiko penularan sangat rendah bila terapi ARV (ART) dipakai. Angka penularan hanya 1-2 persen bila ibu memakai ART. Angka ini kurang-lebih 4 persen bila ibu memakai AZT selama enam bulan terahkir kehamilannya dan bayinya diberikan AZT selama enam minggu pertama hidupnya. Namun jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini, yaitu AZT dan 3TC dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir dan satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 2-3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistansi terhadap nevirapine dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu. Resistansi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui.
Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di negara berkembang. Menjaga proses kelahiran tetap singkat waktunya,semakin lama proses kelahiran, semakin besar risiko penularan. Untuk mengurangi risiko penularan, proses persalinan dapat dilakukan dengan operasi sesar. Menghindari menyusui, kurang-lebih 14 % bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi. Risiko ini dapat dihindari jika bayinya diberi pengganti ASI (PASI, atau formula). Namun jika PASI tidak diberi secara benar, risiko lain pada bayinya menjadi semakin tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut dengan air bersih, atau masalah biaya menyebabkan jumlah formula yang diberikan tidak cukup, lebih baik bayi disusui. Yang terburuk adalah campuran ASI dan PASI. Mungkin cara paling cocok untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah menyusui secara eksklusif (tidak campur dengan PASI) selama 3-4 bulan pertama, kemudian diganti dengan formula secara eksklusif (tidak campur dengan ASI).
Jika dites HIV, sebagian besar bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV-positif menunjukkan hasil positif. Ini berarti ada antibodi terhadap HIV dalam darahnya. Namun bayi menerima antibodi dari ibunya, agar melindunginya sehingga sistem kekebalan tubuhnya terbentuk penuh. Jadi hasil tes positif pada awal hidup bukan berarti si bayi terinfeksi. Jika bayi ternyata terinfeksi, sistem kekebalan tubuhnya akan membentuk antibodi terhadap HIV, dan tes HIV akan terus-menerus menunjukkan hasil positif. Jika bayi tidak terinfeksi, antibodi dari ibu akan hilang sehingga hasil tes menjadi negatif setelah kurang-lebih 6-12 bulan. Sebuah tes lain, serupa dengan tes viral load dapat dipakai untuk menentukan apakah bayi terinfeksi, biasanya beberapa minggu setelah lahir. Tes ini, yang mencari virus bukan antibodi, saat ini hanya tersedia di Jakarta, dan harganya cukup mahal.
Penelitian baru menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif yang hamil tidak menjadi lebih sakit dibandingkan yang tidak hamil. Ini berarti menjadi hamil tidak mempengaruhi kesehatan perempuan HIV-positif. Namun, terapi jangka pendek untuk mencegah penularan pada bayi bukan pilihan terbaik untuk kesehatan ibu. ART adalah pengobatan baku. Jika seorang perempuan hamil hanya memakai obat waktu persalinan, kemungkinan virus dalam tubuhnya akan menjadi resistan terhadap obat tersebut. Hal ini dapat menyebabkan masalah untuk pengobatan lanjutannya.
Seorang ibu hamil sebaiknya mempertimbangkan semua masalah yang mungkin terjadi terkait ART, seperti jangan memakai ddI bersama dengan d4T dalam ART-nya karena kombinasi ini dapat menimbulkan asidosis laktik dengan angka tinggi, jangan memakai efavirenz atau indinavir selama kehamilan, bila CD4-nya lebih dari 250, jangan mulai memakai nevirapine. Beberapa dokter mengusulkan perempuan berhenti pengobatannya pada triwulan pertama kehamilan, karena risiko dosis dilewatkan akibat mual dan muntah selama awal kehamilan dengan risiko mengembangkan resistansi terhadap obat yang dipakai, Risiko obat mengakibatkan anak cacat lahir, yang tertinggi pada triwulan pertama, tidak ada bukti terjadi cacat lahir, selain dengan efavirenz. Para ahli tidak sepakat apakah penggunaan ART menimbulkan risiko lebih tinggi terhadap lahir dini atau bayi lahir dengan berat badan rendah. Jika kita HIV-positif dan dalam keadaan hamil, atau ingin hamil, sebaiknya kita bicara dengan dokter tentang pilihan menjagakan kesehatan sendiri, dan mengurangi risiko bayi kita terinfeksi HIV atau cacat lahir.
Transmisi perinatal pada plasenta adalah sebagai berikut :
a. Mekanisme trasnmisi virus perinatal
1. Invasi langsung pada trofoblas dan vili chorialis.
2. Masuknya limfosit maternal yang terinfeksi kedalam sirkulasi janin.
3. Infeksi oleh sel dengan reseptor CD4 dalam vili chorialis dan sel endothel villi.
b. Peran plasenta dalam proses transmisi virus
§ Pemeriksaan invitro menunjukkan bahwa HIV-1 dapat melakukan infeksi pada trofoblas manusia dan sel Hofbauer pada setiap usia kehamilan
§ Tidak jelas apakah infeksi HIV-1 pada plasenta dapat memfasilitasi infeksi HIV-1 pada janin atau justru dapat mencegah infeksi terhadap janin dengan melakukan tindakan isolasi terhadap virus.
c. Kecepatan penularan HIV dari ibu ke janin, tergantung sejumlah faktor :
1. Faktor yang meningkatkan penulara
2. Ibu menderita AIDS
3. CD4 rendah ( <> 55.000 copi/mL. Pada wanita hamil, terapi harus lebih agresif oleh karena penurunan kadar RNA adalah penting bagi penurunan transmisi perinatal tanpa memperhitungkan CD4+ atau kadar HIV-RNA plasma.
7. DIAGNOSIS
Infeksi HIV dapat diketahui melalui sebuah pengujian antibodi mengenai HIV. Ketika seseorang terinfeksi. Dengan HIV, antibodinya dihasilkan dalam jangka waktu 3–8 minggu. Tahap berikutnya sebelum antibodi tersebut dapat dideteksi dikenal sebagai "tahap jendela" (window period). Pengujian dapat dilakukan dengan mengunakan sampel darah, air liur atau air kencing. Pengujian yang cepat ada dan menyediakan suatu hasil diantara 10–20 menit. Suatu hasil positif. biasanya menuntut suatu test konfirmatori lebih lanjut. Pengujian HIV harus dilakukan sejalan dengan bimbingan sebelum–selama–dan sesudahnya.
Pencegahan dengan tes diagnostik :
a. ELISA ( Enzyme-linked Immunoabsorbbent Assay )
Merupakan tes skirining yang digunakan untuk mendiagnosa HIV, untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV. Tes ini sangat sensitif tapi tidak selalu spesifik karena penyakit lain juga bis menunjukan hasil positif, diantaranya penyakit autoimun ataupun karena infeksi. Sensitivitas ELISA antara 98,1% dan dapat mendeteksi adnya antibidi terhadap HIV dalam darah.
b. Western blot
Memiliki spesifisitas antara 99,6%-100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal dan membutuhkan sekitar waktu 24 jam. Tes ini juga tidak mampu menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test western blot tetap tidak bisa disimpulkan maka test western blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan.
c. PCR ( polymerase chain reaction )
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.
d. Pengujian CD4 adalah mengukur jumlah dari CD4 atau sel T–helper didalam darah. Kekuatan dari sistem kekebalan anda adalah merupakan suatu prediksi yang baik tentang bagaimana anda akan memerangi infeksi.
e. Pengujian viral load adalah mengukur jumlah dari HIV didalam darah dalam setiap ml darah. Semakin tinggi viral load maka semakin cepat pula perkembangannya ke AIDS.
8. PENCEGAHAN
Mencegah penyakit HIV/AIDS relatif lebih mudah dibandingkan dengan mengobatinya. Mencegah penyakit HIV/AIDS akan semakin penting artinya berhubung penyakit ini belum ditemukan obatnya. Berikut ini beberapa cara pencegahan penyakit HIV/AIDS :
a. Setialah dengan suami atau istri anda. Lakukan hubungan seksual hanya dengan pasangan hidup anda (safe sex).
b. Menghindari seks bebas (free sex). Jangan melakukan hubungan badan dengan pekerja seksual (PSK) atau berganti-ganti pasangan.
c. Gunakan kondom secara benar dalam berhubungan seksual, kecuali untuk pasangan-pasangan yang menginginkan bayi. Kondom bisa menurunkan resiko infeksi tetapi tidak dapat mencegahnya secara total. Kondom yang terbuat dari selaput (membrane) binatang terlalu tipis untuk dapat melindungi.
e. Bila ingin akupunctur, tato, atau tindik telinga pastikan bahwa alat-alat yang dipakai telah disterilkan.
f. Bila perlu operasi, sebaiknya minta transfuse darah autologous, yaitu donor darah untuk nantinya dipakai sendiri.
Meskipun upaya-upaya yang signifikan, tidak ada vaksin yang efektif terhadap HIV.
Ada 2 macam pencegahan yaitu:
1. Pencegahan yang dikhususkan pada kelompok yang berperilaku beresiko, yaitu:
§ Pendidikan kesehatan,
§ Melakukan konseling dan test HIV secara suka rela,
§ Absen dari seks. Ini jelas memiliki keterbatasan daya tarik, tapi benar-benar melindungi terhadap penularan HIV melalui rute ini,
§ Berhubungan seks dengan satu pasangan yang tidak terinfeksi. Saling monogami antara pasangan yang tidak terinfeksi menghilangkan risiko penularan HIV seksual,
§ Menggunakan kondom dalam situasi yang lain. Kondom menawarkan perlindungan jika digunakan dengan benar dan konsisten. Kadang-kadang, mereka bisa pecah atau bocor. Hanya kondom terbuat dari lateks harus digunakan. Hanya pelumas berbahan dasar air harus digunakan dengan kondom lateks,
§ Tidak memakai jarum atau menyuntikkan obat-obatan terlarang,
§ Jika Anda bekerja di bidang perawatan kesehatan, ikuti panduan nasional untuk melindungi diri terhadap jarum suntik dan paparan cairan tercemar,
§ Risiko penularan HIV dari wanita hamil kepada bayinya dapat dikurangi secara signifikan, bila si ibu mengambil obat-obatan selama kehamilan, persalinan, dan melahirkan dan bayinya mengambil obat untuk enam minggu pertama kehidupan. Bahkan kursus singkat perawatan yang efektif, meski tidak optimal. Kuncinya adalah untuk mendapatkan tes HIV sedini mungkin dalam kehamilan. Dalam konsultasi dengan dokter, banyak wanita memilih untuk menghindari menyusui untuk meminimalkan risiko penularan setelah bayi lahir,
§ WHO merekomendasiakan untuk melakukan terapi sejak fase asimptomatik.
2. Pencegahan pada penderita AIDS:
§ Segera melapor pada institusi kesehatan lokal,
§ Melakukan pengobatan khusus atau terapi,
§ Penyedian pelayanan khusus bagi penderita AIDS di rumah sakit,
§ Mengurangi penyebaran infeksi HIV/AIDS dengan cara tidak mentransfusi darah penderita AIDS pada pasien lain dirumah sakit,
§ Mengurangi resiko penularan dari ibu kepada bayinya dengan cara mengurangi pemberian Azidothymidine (AZT).
Penolong persalinan harus menghindarkan memecahkan ketuban, episiotomi, serta prosedur - prosedur lain yang mengekspos bayi dengan darah atau cairan darah ibu. Penurunan resiko penularan ketika kelahiran dengan seksio sesaria. Penularan kepada penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% pertahun exposure. Oleh karena itu dianjurkan untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut:
1. Gunakan pakaian, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong persalinan.
2. Gunakan sarung tangan saat menolong bayi
3. Cucilah tangan setelah selesai menolong penderita AIDS.
4. Gunakan pelindung mata (kacamata).
5. Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksius
6. Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut.
7. Bila dicurigai adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibody terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagai profilaksis Perawatan pascapersalinan perlu diperhatikan yaitu kemungkinan penularan melalui pembalut wanita, lochea, luka episiotomi ataupun luka SC.
9. PENGOBATAN
Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:
1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.
Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan tersebut adalah:
1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC).
2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar